Di bawah rintikan hujan, aku berjalan seorang diri. Hatiku ragu menentukan kemanakah tujuan yang akan ku capai. Tetapi, kehendak kaki ku-lah yang menuntun ku untuk mencapai sebuah rumah. Rumah mungil yang penuh kehangatan, kebersamaan, dan kasih sayang. Tak hanya rumah mungil itulah yang aku idamkan. Tetapi, para penghuni rumah itu pula yang aku dambakan. Penghuni yang selalu mengawali hari ku dengan keceriaan dan mengakhiri hari ku dengan kehangatan.
Ya,penghuni itu adalah ayah, bunda, dan kakak. Aku sangat bangga dan sangat bersyukur memiliki mereka. Memiliki seorang ayah yang bijaksana, adil, tegas, disiplin, dan menjadi motivator dalam hidupku adalah harta yang luar biasa tak ternilai harganya.
Bagaikan menemukan setitik terang cahaya dalam kegelapan, begitulah artinya bunda dalam hidupku. Bunda yang luar biasa sabar, penyayang, dan mempunyai wawasan yang luas. Itulah bunda yang terbaik yang ingin aku katakan kepada dunia.
Dan seorang kakak, yang selalu mengajari ku apa arti kehidupan dan arti kasih sayang. Seorang kakak yang selalu mengalah demi melihat adiknya bahagia, dan bisa menciptakan tawa saat kami berduka. Kakak menjadi penghibur di setiap tangis.
Aku terus berjalan menelusuri jalan yang basah terkena rintik-rintik hujan. Aku berjalan tanpa payung,tanpa pelindung apapun. Air sejuk yang turun langsung dari langit membasahi rambutku yang terurai panjang. Di tengah perjalanan, aku bertemu dengan ibu-ibu komplek yang sedang berjalan. Pakaian mereka serba hitam. Salah satu dari mereka berbicara,”saya nggak nyangka deh, non Nabilah sampai begitu. Nabilah itu kan cantik, pintar, ramah pula. Kasihan ya orang tua nya, kehilangan anak bungsu nya yang paling cantik”. Aku hanya tersenyum kepada mereka,namun tidak ada satupun dari mereka yang membalas senyumanku. Bukan karena mereka membenciku sehingga mereka tak membalas senyumanku. Aku tau hal itu bukan lah alasannya.
Aku terus saja meneruskan perjalanan. Sampai tibalah saat aku pada tempat tujuan. Sebuah rumah yag ku anggap sebagai istana mungilku. Aku memasuki pagar, pagar yang membatasi istana mungilku. Namun, aku kembali ragu untuk meneruskan langkah kaki ku. Haruskah aku kembali ke istana ku? Untuk apa aku kembali, jika kehadiranku tidak mampu membuat penghuni istana ku kembali tersenyum seperti dulu???
Namun untuk kali ini, aku bulatkan tekadku untuk kembali ke istana ku. Meskipun aku tak lagi menghadirkan keceriaan. Aku terus saja melangkah, memasuki ruangan istana mungil ku. Sampai tiba saatnya aku melihat kerumunan orang mengenakan pakaian serba hitam mengerumuni jasadku. Lantunan surat Yasin terus mengalir dari mulut mereka, begitu pula ibu. Mata yang berkaca-kaca dengan air mata yang selalu membasahi pipinya. Beliau tak sanggup menahan air matanya. Ayah sibuk dengan persiapan pemakamanku, begitu pula kakak. Saat itu pula, aku melihat sebuah karangan bunga yang cukup besar datang ke istana ku yang bertuliskan: rest in peace for NABILAH AFINI APRILIA. Selamat jalan,nak. Kami selalu mendo’akan mu
Sekarang, aku harus benar-benar pergi untuk menghadap tuhan. Ayah,ibu,kakak, aku pergi. Jika nanti aku rindu kalian, aku akan pulang. Walaupun kepulangan ku tak berarti lagi bagi kalian. Kepergian ku memang tiba-tiba, tidak ada pertanda buruk sebelumnya. Namun, itulah takdir hidupku. Aku tak pernah tahu jika aku akan meninggalkan kalian lebih awal. Dan aku juga tahu, kalian pasti merasa tidak percaya denga kepergianku. Namun begitu, tolong ikhlaskan kepergianku agar aku tenang di sana.

Komentar
Posting Komentar